MY BLOG

INNADINA INDALLAHIL ISLAM ISLAM AGAMA DAMAI

Pages

Selasa, 09 Agustus 2011

Guru Bijak dan Pendeta Jahat di Qumran?

. Selasa, 09 Agustus 2011

Guru Bijak dan Pendeta Jahat di Qumran?

oleh Ria Olive Regina pada 19 April 2011 jam 9:38
Siapakah Sejatinya Guru Bijak dan Pendeta Jahat di Qumran?

Siapakah Guru Bijak bagi Jemaat Qumran dan siapa pula Pendeta jahat? Injil Matius menceritakan tentang kelahiran Almasih ;

"Sesudah Yesus dilahirkan di Betlehem di tanah Yudea pada zaman raja Herodes, datanglah orang­ orang Majus dari Timur ke Jerusalem dan bertanya­tanya: Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia. " Ketika raja Herodes mendengar hal itu terkejutlah ia beserta seluruh Jerusulem. Maka dikumpulkannya semua imam kepala dan ahli Taurat bangsa Yahudi, lalu dimintanya keterangan dari mereka, di mana Mesias akan dilahirkan. Mereka berkata kepadanya: "Di Betlehem di tanah Yudea, karena demikianlah ada tertulis dalam kitab nabi." (Matius 2 : 1 - 5)


"Lalu dengan diam-diam Herodes memanggil orang-orang majus itu dan dengan teliti bertanya kepada mereka, bilamana bintang itu nampak. Kemudian ia menyuruh mereka ke Betlehem, katanya: "Pergi dan selidikilah dengan seksama hal-hal mengenai Anak itu dan segera sesudah kamu menemukan Dia, kabarkanlah kepadaku.... " (Matius 2 : 7 - 8)


"Setelah mendengur kata-kata raja itu, berangkatlah mereka. Dan lihatlah, bintang yang mereka lihat di Timur itu mendahului mereka hingga tiba dan berhenti di atas tempat, di mana Anak itu berada "... .... lalu sujud menyembah Dia. Mereka pun membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada -Nya, yaitu emas, kemenyan dan mur. (Matius 2 : 9, 11)


"Dan karena diperingatkan dalam mintpi, supaya jangan kemhali kepada Herodes.....2: 13 Seteluh orang-orang majus itu berangkat, nampaklah malaikat Tuhan kepada Yusuf dalam mimpi dan berkata: "Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu­Nya, larilah ke Mesir dan tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu, karena Herodes akan mencuri Anak itu untuk mernbunuh Dia." (Matius 2 : 12 - 13).


"Ketika Herodes tahu, bahwa ia telah diperdayakan oleh orang-orang majus itu, ia sangat marah Lalu ia menyuruh membunuh sernua anak di Betlehem dan sekitarnya, yaitu anak-anak yang berumur dua tahun ke bawah, sesuai dengan waktu yang dapat diketahuinya dari orang-orang majus itu ". (Matius : 16)


"Setelah Herodes mati, nampaklah malaikat Tuhan kepada Yusuf dalam mimpi di Mesir, katatnya ; "Bangunlah, ambillah anak itu.serta ibu-Nya dan berangkatlah ke tanah Israel, karena rnereka yang hendak rnemhunuh Anak itu sudah mati." (Matius 2 : 19-20)

Padahal, Raja Herodes telah mati pada tahun ke-4 SM, oleh sebab itu maka sejatinya kelahiran Almasih dan tragedi pembunuhan anak-anak bayi - berlandaskan para riwayat ini - semestinya terjadi pada masa sebelumnya, apalagi Injil-Injil Perjanjian Baru menentukan bahwa kematian Almasih terjadi pada masa pemerintahan Gubernur Romawi Pontius Pilatus yang memerintah Palestina antara tahun 26 - 36 M. Berhubung Jemaat Qumran bisa jadi telah ada semenjak tahun ke-2 SM, hingga pertengahan abad ke-1 M -yang meliputi masa kelahiran dan kematian Almasih- sebagian besar kalangan memperkirakan akan dapat menemukan sumber-sumber yang menyinggung atau mengomentari peristiwa ini, membenarkan atau menafikan penafsiran-penafsiran yang berkembang.

Namun sayang tulisan-tulisan kuno dari Qumran yang telah diterjemahkan dan dipublikasikan sama sel<ali tidak memberikan pengetahuan apapun berkenaan dengan masalah ini. Tidak sedikitpun disinggung peristiwa pembantaian anak-anak balita di zaman Herodus dan penyaliban Almasih di masa Pontius Pilatus. Daripada mengangkat tema tersebut, Jemaat Qumran justru membicarakan sosok manusia yang lain -tanpa menyebutkan nama dan masa kehidupannya- Dia disebut sebagai Guru Bijak yang telah mati pada masa lalu dan mereka sedang menantikan kedatangannya kembali.

Dari tulisan-tulisan yang ada dalam kepemilikan Jemaat Qumran, didapat kejelasan bahwa orang-orang dari sekte Esenes berkeyakinan bahwa mereka mewakili golongan "perjanjian baru" berhadapan dengan "perjanjian lama" sebagaimana klaim Yahudi. Inti ajaran "perjanjian lama" bagi Yahudi dibangun di atas dasar kepatuhan mereka untuk mengkhitankan anak laki-laki, sebagaimana termaktub dalam Kitab Kejadian, tatkala Tuhan berfirman kepada Ibrahim :

"Dan pihakmu, engkau harus memegang perjanjian-Ku. engkau dan keturunanmu turun­temurun. Inilah perjanjian-Ku, yang harus kamu pegang, perjanjian antara Aku dan kamu serta keturunanmu yaitu setiap laki-laki di antara kamu harus disunat; haruslah dikerat kulit khatanmu dan itulah akan menjadi tanda perjanjian antara Aku dan kamu. Anak yang berumur delapan hari haruslah disunat, yakni setiap laki-Iaki di antara kamu, turun-temurun; baik yang lahir di rumahmu, maupun yang dibeli dengan uang dari salah seorang asing, tetapi tidak termasuk keturunanmu. Orang yang lahir di rumahmu dan orang yang engkau beli dengan uang harus disunat; maka dalam dagingmulah perjanjian-Ku itu menjadi perjanjian yang kekal. Dan orang yang tidak disunat, yakni laki-laki yang tidak dikerat kulit khatannya, maka orang itu harus dilenyapkan dari antara orang-orang sebangsanya: ia telah mengingkari perjanjian-Ku. " (Kejadian 17: 9-14)

Ketika lahir Agama Kristen, Paulus mengatakan bahwa karakteristik "perjanjian lama" yang berlandaskan afiliasi berdasarkan hubungan darah, telah berakhir. Ini di pihak lain merupakan pertanda dimulainya "masa perjanjian baru", bagi siapa saja yang beriman pada kebangkitan Almasih.

Selain mereka, Jemaat Esenes Qumran - diperkirakan telah ada puluhan tahun sebelum kelahiran al-Masih- juga mengklaim bahwa mereka pun mewakili golongan "perjanjian baru", meskipun bahwa Jemaat ini telah menjadi bagian integral dari eksistensi Yahudi. Inti ajaran "perjanjian baru" adalah bahwa setiap orang yang beriman pada kebangkitan Almasih -atau yang beriman pada kehidupan akhirat - tidak akan mengalami mati, sebab yang mati hanyalah wujud materi (jasad), sedangkan arwah bersifat abadi. Sebagaimana dimaklumi bahvra ajaran Yahudi dari para pendeta Rumah Suci di Jerusalem tidak mengimani wujud arwah, tidak pula kehidupan sesudah mati, dan justru persoalan-persoalan tersebut menjadi substansi ajaran Kristen.

Berdasarkan sumber-sumber dari tulisan mereka sendiri, dapat diketahui bahwa Jemaat Qumran mempunyai seorang guru yang dijuluki sebagai "Guru Bijak", yang hidupnya berakhir tragis dan berdarah; pada masa lalu yang tidak diketahui bilangan tahunnya secara pasti dan diperkirakan pada tahun ke-2 SM.

Yang menyebabkan kematiannya adalah seorang Pendeta jahat. Berdasarkan keterangan yang tertera dalam tulisan-tulisan tangan yang berisi penafsiran atas Kitab "Habakuk" dan juga dalam Kitab "Pertempuran antara Anak Cahaya dan Anak Kegelapan", disebutkan bahwa "Tuhan telah membeberkan kepadanya semua rahasia para Nabi Hamba Tuhan". Perlu dicamkan, bahwa di sana terdapat persamaan yang cukup besar antara "Guru Yang Bijak" dengan "Isa Almasih" yang kita kenal melalui tulisan-tulisan dalam Perjanjian Baru dan dari AI-Qur'an. Seorang peneliti berkebangsaan Perancis, Andre Dupont-Sommer, telah melakukan studi perbandingan di antara keduanya, dan mengeluarkan pernyataan : "Murid-murid meyakini bahwa Guru Bijak -yang mirip dengan Yesus- itu adalah Almasih hamba Allah dan Juru Selamat. Keduanya sama-sama menentang kependetaan Yahudi, sama-sama dihukum mati, sama-sama menghujat kependetaan Rumah Suci Jerusalem dan keduanya memimpin sebuah jemaat yang anggota-anggotanya sedang menantikan kedatangan dirinya pada akhir zaman untuk memimpin dunia".

Namun demikian, dalam penafsiran mereka atas urgensi naskah-naskah Qumran dalam upaya mengetahui asal usul Kristen, para peneliti berbeda pandangan mengenai masalah ini, Sebagian menafikan adanya hubungan antara Jemaat Qumran dan Sejarah Kristen, sedangkan sebagian lain seperti Profesor Tatcher dari University of Cambridge berkeyakinan bahwa Guru Bijak itu tidak lain adalah Isa Almasih dan orang-orang Esenes itu adalah para penganut Kristen golongan pertama.

Bahkan, salah seorang dari delapan peneliti yang dipilih oleh pemerintah Jordan untuk melakukan studi atas transkrip kuno dari Qumran, yakni John Allegro, dari Manchester University berpendapat bahwa Yesus sama sekali bukan "tokoh historis" akan tetapi dia adalah "tokoh mitologis". Edmund Wilson, penulis berkebangsaan Amerika Serikat, pada beberapa tulisannya menyatakan bahwa kelahiran agama Kristen itu sesungguhnya bukan di Betlehem, tetapi di Qumran. Hanya saja mayoritas peneliti tidak begitu saja mengiyakan pendapat yang sangat radikal ini, namun mereka juga tidak menafikan bahwa tulisan­tulisan kuno dari Qumran itu kelak akan membawa perubahan besar dalam menafsirkan rentetan peristiwa yang terjadi pada periode awal sejarah Kristen yang masih terselubung. William F. Albright - peneliti dari Amerika Serikat yang mempunyai banyak sekali tesis arkeologis Palestina dan tulisan-tulisan kuno- mengatakan, "sumber-sumber terbaru ini akan melahirkan perkembangan spektakuler sehubungan dengan pandangan kita terhadap sejarah awal agama Kristen,". Tetapi di sekelompok akademisi yang terdiri dari para guru besar jurusan studi Perjanjia Lama mengatakan bahwa Yesus justru merupakan salah seorang murid dalam Jemaat Qumran sehingga dengan demikian, ajaran-ajaran Yesus, praktis bersumber dari Jemaat tersebut.

Upaya-upaya para ilmuwan sejarah dan arkeologi menemui jalan buntu sebelum berhasil menyingkap jati diri "guru bijak" dan "si pendeta jahat". Untuk itu diusulkan beberapa nama yang pernah disebut oleh sejarah penguasa-penguasa Kerajaan Yehuda Hasmoneon sekitar abad ke-2 SM. Namun sejauh itu tidak ada sesuatu yang menguatkan asumsi tersebut, bahkan Yosephus, Sejarawan Yahudi paling populer di masanya, sedikitpun tidak pernah menyinggung jati diri kedua orang misterius itu. Pendapat yang cukup kuat adalah sang guru hidup pada abad sebelumnya dan di samping itu, para anggota Jemaat berkeyakinan bahwa para pendeta rumah suci Jerusalem adalah para penerus pendeta jahat dan perwujudan setan di muka bumi.

Semua yang kita ketahui tentang tulisan-tulisan kuno Jemaat Qumran menyebutkan, Guru bijak itu mengetahui penafsiran yang benar atas ajaran-ajaran para Nabi, aturan-aturan pelaksanaan perayaan hari raya. Sedangkan Pendeta jahat -yang kadangkala disebut Pendeta pendusta- berselisih pendapat dengan sang Guru kemudian dia memeranginya. Sang guru melarikan diri bersama para murid ke sebuah tempat di wilayah Damsyik, namun bukan kota Damaskus, ibukota Suriah dewasa ini. Nama ini dipergunakan untuk menunjukkan lokasi tertentu yang dirahasiakan dan tidak mengetahuinya secara pasti kecuali para murid. Sebagaimana dimaklumi bahwa Jemaat Qumran menafsirkan tulisan-tulisan mereka seolah­olah tulisan itu adalah rangkaian rumus. Para calon anggota Jemaat diwajibkan mengucapkan sumpah untuk tidak membocorkan makna-makna khusus yang mereka pergunakan untuk menafsirkan peristilahan seperti itu. Namun pada akhirnya pendeta jahat itu datang dan menyerang sang guru di tempat persembunyiannya. Penyerangan sang guru oleh pendeta jahat terjadi pada hari yang kemudian dikenal dengan "hari raya Kipur" atau "hari pengampunan". Kemudian si pendeta menangkap sang guru dan menelannya. Riwayat yang lain menyebutkan bahwa Tuhan telah menyelamatkan dia dari mereka.

Yang perlu menjadi catatan adalah, pendapat otoritas gereja hingga abad ke-4 M, mereka mengatakan bahwa Yesus mempunyai wujud yang telah ada sebelum dia menampakkan dirinya kepada para sahabatnya di Palestina. Josephus, Sejarawan gereja paling awal, mengatakan, "Yesus memiliki sosok yang kembar...., masing-masing dari Yesus dan Almasih merupakan nama yanq dipuja, hingga oleh para nabi Allah semenjak asal. Tugas saya di sini untuk menjelaskan bahwa kekudusan dan keagungan nama ini pun telah disebutkan oleh Nabi Musa ... Ketika Musa menyampaikan kepada Tuhan tentanq sifat Pendeta Terbesar - dia adalah orang paling kuat - Almasih telah memanggilnya. Musa bersama Roh Kudus juga telah sempat meramalkan denqan tepat julukan bagi Yesus. Musa merasa bahwa ia juga berhak mendapatkan keistimewaan khusus, yang belum pernah didengar oleh telinga manusia, sehingga menjadi jelas bagi Musa bahwa julukan Yesus yang diberikannya pada kesempatan pertama dan satu­satunya bagi seorang laki-laki yang -secara simbolis - diketahui bahwa dia akan menjadi pengqanti dirinya sesudah ia mati. "

Nabi-nabi yang menggantikan Musa hingga waktu itu tidak seorangpun yang menyandang nama Yesus. Nama yang ada adalah Yoshea, nama pemberian sang ayah. Sedangkan Musa telah memanggil Yesus dengan menyertakan julukannya sebagai penghormatan tertinggi yang tidak dapat diukur harganya, bahkan lebih agung dari dari mahkota kerajaan manapun di bumi.

Kita mendapati bahwa orang-orang Yebus hampir saja berkeyakinan bahwa Yoshea bin Nun itulah pengganti Musa, dan dia pulalah Yesus Kristus (Almasih). Ia tidak saja membawa nama yang sama, namun ada kemiripan di antara keduanya, di mana masing-masing menjadi pengganti Musa. Persoalannya di sini adalah, mestinya Yoshea hidup pada zaman Musa, sekitar abad ke-14 SM, sedangkan Yesus hidup pada permulaan abad pertama M. Semua pembicaraan ini menyimpan rangkaian rumus yang diketahui oleh para pendeta-pendeta gereja abad pertama, sebagaimana pula diketahui oleh para anggota Jemaat Qumran.

Sebagaimana kita ketahui bahwa tulisan-tulisan kuno di Qumran, tidak saja menegaskan sesuatu yang telah dimaklumi sebelumnya, tapi bahkan membuka wacana baru untuk bahan kajian. Tidak disangsikan, apapun alasannya, naskah yang telah dipublikasikan telah sempat mengundang pelbagai pertanyaan yang perlu mendapatkan jawaban, terlepas apakan naskah­naskah yang masih tersisa akan dipublikasikan atau tidak..!
------------------------------------------------
Sekte Esenes, Kelompok Separatis Rumah Suci.

Siapakah orang-orang yang mendiami wilayah Qumran antara pertengahan abad ke-2 S M hingga pertengahan abad 1M. yang menyembunyikan manuskrip-manuskrip misterius di gua-gua Laut Mati? Para ilmuwan sepakat bahwa naskah-naskah kuno tulisan tangan yang diketemukan di Qumran .itu adalah milik sekte Yahudi yang menamakan diri mereka "Esenes". Sebutan mereka dengan nama tersebut menjadi bahan perdebatan di kalangan para ahli. Profesor Abbas Mahmud AI-Aqqad dalam buku "Hayat Almasih" (Kehidupan Almasih) edisi kedua, mengemukakan sebagai berikut,

"Pendapat yang paling akurat dari berbagai tesis yang ada adalah bahwa orang-orang yang khusyu, yang menghuni rumah peribadatan di Qumran ilu adalah sekelompok sekte Esenes, salah satu sekte konservatif dan sangat keras mempertahankan hukum-hukum agama Yahudi, yang menantikan keselamatan mereka dengan datangnya Sang Juru Selamat yang dijanjikan. Sekte ini yang juga sempat kami singgung dalam tulisan kami 'Kejeniusan Almasih', merupakan kelompok bani Israel yang paling bersih dari perbuatan dosa dan hawa nafsu. Dalam tingkat keberagamaan, mereka terbagi menjadi tiga kelas. Dalam sumpah kesetiaan, mereka bersumpah untuk menjaga rahasia kelompoknya, dan sesudah itu mereka diharamkan untuk bersumpah seeara benar atau palsu seumur hidup. Mereka beriman pada hari kiamat, kebangkitan dan kerasulan Almasih sang Juru Selamat. Pendapat kami bahwa nama Esenes berasal dari derivasi "asi " yang berarti tabib. "

Para ilmuan sejarah berbeda pendapat berkenaan dangan asal penamaan Esenes. Sebagaimana tersebut di atas bahwa Profesor Aqqad menyebutnya berasal dari akar kata `asi' dalam bahasa Aramik yang berarti tabib. Akan tetapi penulis berbeda pendapat dengan Profesor Aqqad, sebab jamak dari kata "ast"' bukannya "esen" tetapi "asen". Meskipun diketahui bahwa mereka mempergunakan ramuan obat-obatan untuk terapi penyembuhan berbagai macam penyakit, namun mereka bukanlah para tabib, dan tidak terdapat satupun tulisan kuno yang memperkuat dugaan bahwa mereka berprofesi sebagai tabib.

Nama kelompok Esenes tertulis dalam bahasa Yunani dalam karya sejarah Philo Judaeus 1), Josephus Flavius 2), dan Pliny the Elder 3), masing-masing dalam ungkapan " Esenoy" atau " Esau" sedangkan nama orang yang menisbatkan dirinya kepada nama itu disebut " Esawi". Persoalan mendasar yang dihadapi oleh para peneliti adalah bahwa meskipun asal kata dari nama kelompok ini merupakan peristilahan lokal, namun mereka mendapatinya hanya tertulis dalam bahasa Yunani. Untuk itu pertu dilacak asal kata dari istilah tersebut.

Sebagian peneliti mengasumsikan bahwa istilah itu berasal dari bahasa Aramik atau Ibrani; namun mereka tidak kunjung sepakat pada kata tertentu yarig menunjukkan bahwa kelompok tersebut pernah berdiam di wilayah Palestina. Namun demikian, di sana terdapat indikasi kuat yang menghubungkan kelampok Esenes dengan Nabi Yesaya, yang membelot dari kelompok Pendeta Rumah Suci dan memilih hidup menyendiri menantikan kedatangan Sang Juru Selamat pada akhir zaman (hari kiamat). Nama Yesaya dalam bahasa Ibrani adalah "Vasya Ya', seperti "Yasyu"' dan "Yasu"' yang mempunyai satu pengertian yakni keselamatan Tuhan. Sedangkan nama "Yasu"' dalam bahasa Yunani -atau "Isa" dalam bahasa Arab­ditulis sebagai "Esu". Tampaknya bahwa nama Yesaya juga dipakai untuk menamahan murid-murid Nabi Yesaya. Para peneliti telah menemukan tiga bagian dalam Kitab Yesaya ditulis selama kurun waktu dua abad, antara abad ke-6 hingga abad ke-4 SM. Apapun alasannya, di antara jemaat yang mendiami wilayah Qumran bersama nabi Yesaya terdapat hubungan yang erat -berkat penemuan di dalam gua-gua hunian mereka- dengan tulisan-tulisan Nabi Yesaya dalam jumlah besar, dan mereka menafsirkan tulisan-tulisan itu dengan metode khusus yang menjadi rahasia di antara mereka, terutama bagian-bagian yang berkenaan dengan "Hamba Tuhan", dan kelahiran "Emanuel". Naskah-naskah ini juga-lah yang diandalkan oleh para penulis Injil untuk mengisyaratkan kelahiran Isa Almasih yang mereka sebut sebagai "nubuwat Sang Guru di masa mendatang".

Mengetahui asal kata dari peristilahan ini barangkali tidak sedemikian sulit, jika kita mengingat bahwa huruf "ain" dalam bahasa Arab dan pada semua bahasa Semitik akan menjadi "alif" dalam bahasa-bahasa Eropa di antaranya bahasa Yunani. I<ata `arab - menjadi "a r b " , 'Umar menjadi Umar, `Isa menjadi Isa. Kalau saja huruf "A" dalam kata Yunani itu kita ganti dengan "ain", maka akan menjadi `ISAWI, - dan itulah istilah yang dipergunakan dalam bahasa Arab sampai sekarang, sehingga dengan demikian nama sekte tersebut adalah 'ISAWIYYUN.

Menurut penjelasan Pliny, dalam bukunya "Natural History", sesungguhnya kelompok Esenes mendiami wilayah antara kota Yericho (Ariha) kawasan lembah Jordan di utara dan kota `Ein Juda di tepian Laut Mati di selatan. Kawasan yang sama di mana terletak wilayah tak berpenghuni di Qumran. Paska kedatangan orang-orang Yahudi dari Babel, para pendeta Yahudi berhasil menyeru manusia pada ajaran agama Yahudi yang didirikan berdasarkan penafsiran mereka yang sangat khusus atas Taurat Musa. Dan berdasarkan retorika penafsiran itu pula para pendeta menyusun ulang format kitab suci Yahudi. Bersamaan dengan dibolehkannya orang-orang Yahudi untuk membangun kembali rumah suci kaum Yebusi oleh penguasa Parsi, maka dengan demikian, rumah suci itu menjadi pusat kegiatan peribadatan para pendeta.

Ibadah Yahudi yang dilakukan oleh kelompok pendeta, terdiri dari ritual-ritual tertentu, yang penting di antaranya adalah menyembelih hewan kurban yang dilakukan oleh para pendeta di rumah suci setiap hari, terlebih pada hari Sabat atau hari-hari raya. Orang­orang Yahudi awam, masing-masing diminta untuk mempersembahkan sebagian hasil usaha mereka untuk rumah suci. Oleh sebab jabatan Kependetaan itu menjadi status yang sifatnya turun temurun dalam garis keturunan keluarga "para pendeta", maka secara otomatis, "status kependetaan" itu selanjutnya membentuk hierarkhi baru dalam masyarakat Yahudi, yang mampu mendatangkan sumber kekayaan yang cukup melimpah.

Dengan masuknya komunitas aristokrat dan para pedagang, hierarkhi tersebut selanjutnya menjadi populer sebagai Sekte Saduki atau Sedukhem. Kelas sosial Yahudi tersebut kemudian memegang otoritas atas bangsa Yahudi melalui ritus-ritus keagamaan. Tidak ada doa atau upacara keagamaan lainnya yang berlangsung dalam agama Yahudi yang dapat dilaksanakan sendiri oleh para pemeluk, baik di rumah atau di tempat peribadatan lain, melainkan harus datang ke Rumah Suci di Jerusalem dan mempersembahkan kurban kepada para Pendeta.

Sekte Saduki mempercayai bahwa arwah akan mengalami kematian bersamaan dengan kematian jasad. Sekte Saduki menerapkan ajaran Taurat secara sangat tekstual, dan dalam penafsiran teks-teks Taurat sama sekali terlepas logika akal, seperti halnya analogi. Berdasarkan konsep teori penafsiran seperti itu, maka sekte Saduki tidak mengimani keabadian arwah, tidak pula kebangkitan manusia sesudah mati, atau perhitungan amal perbuatan (hisab). Saduki juga tidak mempercayai adanya wujud malaikat dan jin, karena dalam pendirian Seduki bahwa ajaran Taurat berdiri di atas prinsip kemaha-esaan Tuhan. Oleh karena itu tidak ada penyembahan berhala dan berikut ilah-ilah lain dalam keyakinan Saduki. Sedangkan kepercayaan pada hari kiamat dan hisab di kehidupan akhirat sesudah mati tidak disebutkan dalam kitab­kitab yang dinisbatkan kepada Musa, akan tetapi tercantum di dalam kitab Nabi-nabi, seperti halnya Yesaya.

Sementara sekte Seduki (Kelompok Pendeta) mendasarkan ajaran agama Yahudi hanya pada lima Kitab Taurat saja, yakni lima kitab pertama pada Perjanjian Lama, (Kejadian, Eksodus, Orang-orang Levi, Bilangan dan Ulangan -dan dengan demikian mengesampingkan I<itab Nabi-Nabi- sebaliknya sekte Esenes menetapkan bahwa kitab Nabi-Nabi itu menjadi bagian yang integral dari literatur agama. Ketika perbedaan pandangan keagaamaan ini mencapai puncaknya dan sekte Seduki memerangi mereka, kaum Esenes meninggalkan kota dan mengasingkan diri diwiiayah terpencil dan melakukan ritus-ritus peribadatan secara sembunyi-sembunyi, sehingga selamat dari penindasan kelompok pendeta Seduki.

Berdasarkan pada tulisan-tulisan Philo Judaeus, filosof Yahudi dari Aleksandria yang hidup pada awal abad Masehi, dan Josephus, sejarawan yang hidup di Palestina dan penulis sejarah Yahudi untuk Romawi pada akhir abad pertama Masehi, bahwa kaum Esenes tersebut pernah ada di Palestina, tepatnya di kawasan terdekat dengan wilayah barat laut pantai Laut Mati. Dan berdasarkan pada sumber-sumber tulisan kuno, para penganut Sekte Esenes, meskipun mereka adalah pemeluk Yahudi tetapi mereka mempunyai perbedaan yang amat menyolok dengan pemeluk Yahudi pada umumnya, oleh sebab kepercayaan mereka pada keabadian arwah, pada perhitungan di hari akhir, dan mereka tidak melakukan ritus pengurbanan hewan sembelihan di kuil. Dan jumlah mereka relatif kecil, tidak lebih dari 4000 orang pada awal abad pertama Masehi.

Para pengikut sekte Eseness terbagi menjadi dua kelompok; pertama, hidup seperti layaknya para rahib dan tidak menikah, sedang kelompok kedua, hidup bersahaja dan menikah. Meskipun di antara keduanya ada perbedaan, namun semua penganut Esenes mepunyai semangat menjauhkan diri dari dunia materi dan kesenangan hidup. Tidak ada di antara mereka kelompok kaya dan kelompok miskin, karena semuanya menjadi satu dalam hak kepemilikian. Esenes meyakini bahwa wujud materi yakni jasad manusia adalah wujud temporal yang fana. Sedangkan wujud yang hakiki ada di alam kehidupan arwah, dan oleh karena itu mereka tidak takut mati. Orang-orang Esenes ini hidup dalam kelompok-kelompok secara sangat bersahaja, mengenakan selendang putih ciri khas mereka. Rutinitas keseharian mereka dimulai dengan bangun pagi untuk melaksanakan shalat fajar kemudian pergi ke ladang karena sebagian besar mata pencarian mereka adalah bercocok tanam. Mereka mengerjakan shalat yang kedua saat matahari tenggelam dan sesudah itu berkumpul bersama anggota keluarga untuk makan malam, yang umumnya terdiri dari roti dan satu macam jenis sayuran.

Bersuci dengan mempergunakan air sebelum melakukan shalat, merupakan tradisi ibadah sangat penting dan dipegang teguh oleh para pengikut sekte Esenes. Bukan hal yang sederhana bagi siapapun untuk menjadi anggota sekte Esenes, khususnya wanita, karena sekte Esenes tidak menerima keanggotaan dari kaum hawa. Yang berminat menjadi anggota sekte Esenes terlebih dahulu harus lolos ujian panjang yang berlangsung selama satu tahun. Jika yang bersangkutan lulus, ia baru diperbolehkan mengikuti ritual-ritual khusus selama dua tahun dan baru benar-benar menjadi anggota pada tahun ketiga.

Orang-orang dari sekte Esenes mempunyai kebiasaan yang sangat unik, di mana mereka memanfaatkan sebagian besar waktu malam untuk membaca Taurat juga Kitab Nabi-Nabi, khususnya I<itab Yesaya. Mereka menafsirkan kitab suci mereka itu secara metaforis, bukan secara harfiah. Maka dari itu sangat sulit bagi orang lain untuk memahami makna sesungguhnya dari pembicaraan mereka (ritual ibadah mereka, pent) kecuali bagi yang memahami benar rahasia ajaran kaum Esenes. Sekte Esenes mengharamkan atas para pengikutnya untuk melakukan sumpah kecuali hanya satu jenis sumpah untuk menjaga kerahasiaan sekte, yang dilakukan pada saat diterima sebagai anggota kelompok. Kerahasiaan lain yang sangat dijaga oleh kaum Esenes adalah berkenaan dengan nama-nama malaikat, yang menjadi kewajiban masing-masing anggota untuk menghafalkannya. Sedangkan penganut Yahudi pada umumnya tidak mempercayai adanya malaikat.

Perselisihan yang terjadi antara Esenes dan Seduki menjadi sebab bagi lahirnya sekte baru yang memiliki struktur kepercayaan moderat, yang dikenal dengan nama Farisi. Tersebarnya filsafat Plato yang mempercayai adanya alam spiritual metafisis, berakibat pada munculnya keyakinan akan keabadian arwah sesudah mati. Sekte Farisi percaya pada takdir, yang substansinya adalah bahwa segala sesuatu yang terjadi sesungguhnya telah ditentukan sebelumnya dan tidak mungkin untuk dihindari. Akan tetapi mereka juga meyakini kebebasan manusia untuk berkehendak dan memilih. Mereka mengataan bahwa Tuhan akan memberi kemudahan bagi mereka yang berbuat kebajikan, sedangkan orang yang meniti jalan kejahatan, Tuhan akan membiarkan dirinya dengan pilihannya itu. Bertolak dari keyakinan ini mereka mengatakan bahwa arwah orang-orang jahat akan ditempatkan dalam penjara abadi dan mengalami siksaan sepanjang masa. Adapun arwah orang-orang yang baik dalam pandangan Farisi, mereka itu akan hidup kembati dalam jasad lain. Dengan ungkapan lain mereka percaya pada inkarnasi atau kembalinya arwah ke bumi.

Sebagai usaha memberikan legitimasi atas penafsiran-penafsiran mereka yang sangat bertolak belakang dengan ajaran para Pendeta, sekte Farisi mendirikan konsep teori baru yang mengatakan bahwa selain Taurat tertulis, Tuhan juga memberikan kepada Musa "Hukum Lisan" yang sampai kepada mereka melalui jalam periwayatan yang turun temurun -dan selanjutnya mereka mengabadikannya dalam Talmud­. Di samping itu mereka juga mempergunakan logika akal dalam menafsirkan teks-teks kitab suci. Mereka berpendapat bahwa perubahan zaman akan berarti perubahan tuntutan, sehingga yang penting dalam hal ini adalah penerapan substansi hukum, bukan formalitas hukum itu. Seperti contoh, dalam menerapkan ayat "mata dibalas dengan mata", mereka mengatakan bahwa pada masa itu, tidak mesti harus dengan membunuh pelaku, sebab hal itu dapat saja diganti dengan memberikan ganti rugi kepada korban.

Tidak diragukan bahwa orang-orang Farisi-lah yang membangun agama Yahudi Rabinik (Rabbinic Judaism) setelah berakhirnya masa kependetaan menyusul hancurnya Rumah Suci Yerusalem di tangan penguasa Romawi pada tahun 70 S M, dan semua pendeta yang ada di dalamnya tewas terbunuh. Namun demikian kita melihat adanya kesamaan pandangan antara sekte Farisi dan Seduki berkenaan dengan jatidiri dan peran Almasih. Kaum Farisi memerangi pengikut-pengikut Isa As. dan menghalang-halangi misi kaum Esenes. Orang-orang Yahudi -hingga saat ini- masih menantikan kedatangan Mesiah yang lain, selain Isa, yang akan menjadi Pemimpin dan Raja keabadian. Maka berdasarkan keyakinan ini, penulis berpendapat bahwa kelompok Esenes, meskipun mereka menjadi bagian dari komunitas Yahudi sebelum kehancuran Beit Suci, namun pada hakikatnya mereka sangat berbeda dengan Yahudi pada umumnya, berkenaan dengan keimanan pada keabadian arwah dan hari kiamat. Pada saat kedatangan sang Guru, yang akan memimpin pertempuran "Putera cahaya" melawan "Putera kegelapan". Mesiah yang mereka nantikan akan menang dan kejahatan akan sirna sepanjang masa. Oleh sebab itu, kebanyakan para peneliti condong kepada kesimpulan bahwa orang­orang sekte Esenes adalah komunitas Judeo-Kristen yang akan kita ketahui lebih lanjut tentang jati diri mereka pada bahasan-bahasan mendatang.

(Footnotes)

1. Disebut juga Philo of Alexandria, Filosof Yahudi yang berbahasa Yunani, seorang yang paling representatif dalam Yahudi Helenis, dalam tradisi Kristen ia dianggap sebagai pelopor Teologi Kristen (pent-). Lihat Encyclopaedia Britannica.

2. Nama aslinya Joseph Ben Matthias, pendeta Yahudi, sarjana, dan ahli sejarah yang menulis karya-karya tak ternilai tentang revolusi Yahudi th. 66-70 juga tentang sejarah Yahudi masa awal. Karya terpentingnya adalah Sejarah Perang Yahudi (75-79), "The Antiquities of the Jews" (93), dan "Against Apion". (Pent-). Idem.

3. Lahir th 23 M di Gaul (sekarang Itali), nama lengkapnya dalam bahasa latin Gaius Plinius Secundus, penulis "Natural History", merupakan karya ensiklopedi. (pent-), idem
ARTIKEL YANG BERHUBUNGAN :


0 komentar:

:X ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

 

Ada Apa dengan (Cinta) Jilbab?

Ada Apa dengan (Cinta) Jilbab?,


Sungguh Islam ini diturunkan bukan untuk menyusahkan manusia, tetapi semata-mata untuk rahmat sekalian alam, rahmatan lil ‘alamiin. “Maa anzalna alaykal qur’aana li tasqaa” (Sungguh Kami turunkan Al-Qur’an tidak untuk menyusahkanmu). Jadi, apapun yang diwahyukan Allah ke manusia adalah semata-mata untuk maslahat manusia juga.

Fenomena (mencintai) jilbab beberapa dekade terakhir menjadi suatu fenomena yang sangat menarik. Adanya kesadaran di antara muslimah untuk mengenakan jilbab dianggap sebagai suatu kekuatan akan kebangkitan intelektualitas seorang muslimah karena adanya suatu kebutuhan spiritual dari diri pribadi muslimah. Hal ini sangat berbeda dengan beberapa puluh tahun yang lalu, yang masih menganggap jilbab adalah kuno atau tidak modern dan lain sebagainya. Di sisi lain masih adanya penolakan penggunaan jilbab dari umat muslim sendiri.

Ada beberapa alasan kenapa banyak dari muslimah yang ramai-ramai mengenakan jilbab, diantaranya adalah:

1. Ingin Mempercantik Diri

Wanita biasanya akan senang apabila ia dikatakan cantik, meski mungkin hal ini tidak diucapkannya di bibir bahwa ia suka dikatakan cantik. Hal ini adalah sunnatullah, karena Allah menciptakan wanita dengan kecenderungan “menarik hati” laki-laki dengan kecantikannya. Rasulullah pernah memerintahkan seorang sahabat untuk melihat mata seorang wanita anshar sebelum ia meminangya, karena kata Rasulullah di dalam mata seorang wanita anshar itu terdapat sesuatu yang membuat seorang laki-laki mempunyai kecenderungan untuk membulatkan tekad meminangnya.

Banyak di antara muslimah yang mengenakan jilbab karena ia merasa cantik kalau mengenakan jilbab. Keindahan dan kecantikan adalah sunnatullah, Allah menciptakan sekuntum bunga dengan keindahan, Allah menciptakan hamparan gunung dengan keindahan, Allah menciptakan dunia dan isinya dengan penuh keindahan, begitu pula Allah menciptakan wanita dengan penuh keindahan. Jadi, untuk tahap awal mungkin tidak apalah jika niat memakai jilbab adalah demikian.

Alasan mengenakan jilbab di kalangan muslimah karena ia merasa cantik apabila mengenakan jilbab adalah alasan yang wajar. Apalagi sekarang ini banyak sekali jilbab yang cantik dengan mode yang masih dianggap syar’i. Dari kacamata laki-laki, memang apabila seorang wanita mengenakan jilbab ia akan terlihat lebih anggun, cantik, dan yang lebih penting lagi ia terlihat lebih berwibawa dan menyejukkan di matanya dari pandangan syetan. Karena sungguh Allah memerintahkan kita untuk menjaga pandangan (QS. 34 : 21).

2. Kebutuhan Aktualisasi Diri

Alasan kedua kenapa seorang wanita berjilbab adalah aktualisasi diri dari wanita. Perspektif diri bahwa ia akan diakui oleh komunitasnya adalah dengan cara mengikuti apa yang menjadi “kelaziman” di antara komunitasnya. Sebagai contoh, orang yang bekerja di lingkungan berjilbab, maka ia akan “memaksakan” dirinya untuk ikut berjilbab. Dan dengan berjilbab identitas keislaman seorang muslimah dapat diketahui. Alasan yang kedua ini tidaklah disalahkan, tetapi dalam suatu skala kadar “kepatutan” alasan yang masih rendah. Namun demikian dengan seiring berjalannya waktu ia akan menyesuaikan dengan sendirinya. Sebagaimana dulu ketika Rasulullah dari Madinah kembali ke Mekkah dimana ketika itu kekuatan pasukan Rasulullah tidak mungkin tertandingi oleh pasukan Quraisy Mekkah. Maka dengan “terpaksa” Abu Sofyan dan penduduk Mekkah lainnya berbondong-bondong memeluk Islam. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu penduduk Mekkah menjadi sadar bahwa Islam adalah ajaran yang benar.

3. Kebutuhan Menjaga Diri

Sebagaimana Allah wahyukan di Surat Al-Ahzab, bahwa tujuan mengenakan jilbab adalah untuk penjagaan diri. “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang mu’min : “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 33 : 59).

Fakta membuktikan, bahwa dengan perempuan memakai jilbab, tangan-tangan jahil laki-laki atau niat jahat laki-laki yang lain dapat diminimalisir dengan mengenakan jilbab. Banyak laki-laki jahil yang mengurungkan niat jahatnya jika “calon korbannya” adalah seorang perempuan berjilbab. Dan laki-laki lebih terjaga pandangannya dengan wanita yang mengenakan jilbab.

4. Menerima dan Melaksanakan Apa Adanya Perintah Allah

Alasan yang keempat adalah seorang muslimah mengenakan jilbab karena ia melihat bahwa apa yang diperintahkan oleh Allah adalah harus dilaksanakan tanpa kecuali. Alasan ini timbul karena semata-mata muslimah lebih melihat bukan suatu kepatutan apabila apa yang diperintahkan oleh Allah di dalam Al-Qur’an tidak dilaksanakannya. Mereka berpedoman “ud ‘uni fi islimi kaafaah” (Masuklah engkau ke dalam Islam secara keseluruhan). Jadi tidak ada yang perlu dibantah apa yang ada di dalam Al-Qur’an.

Seorang muslim sejati ia akan berkata, “sami’na wa atha’naa” (Kami dengar dan kami laksanakan), tidak akan pernah ada di dalam dirinya “sami’na wa ashaynaa” (Kami dengar dan kami bantah). Biasanya muslimah ini sudah “matang” dalam pemahaman perintah Allah. Ayat di QS. An-Nur 31 dan Al-Ahzab 59 sudah cukup baginya untuk dapat “mencintai” jilbab karena Allah.

Namun demikian, di sisi lain, kaum muslimah masih banyak yang belum mengenakan jilbab. Banyak alasan yang menjadikan mereka tidak mengenakan jilbab. Alasan tersebut antara lain adalah :

1. Belum Adanya Pengetahuan atas Perintah Jilbab

Alasan ini memang cukup banyak, hal ini disebabkan karena memang belum tahu bahwa perintah atas jilbab adalah suatu kewajiban. Kebanyakan di antara mereka adalah muslimah yang memang belum pernah melihat apalagi mendengar perintah jilbab karena yang bersangkutan belum pernah ikut dalam suatu kajian keagamaan atau membaca ayat-ayat Allah. Mereka hidup di lingkungan yang memang benar-benar awam dan jauh dari nuansa keagamaan, seperti di daerah-daerah terpencil atau bahkan di lingkungan kumuh “daerah hitam” di kota-kota besar.

Untuk itu adalah kewajiban kita semua untuk dapat menyampaikan kepada mereka. Sungguh suatu kesalahan kita semua apabila ada saudara kita dalam suatu “kebutaan” atas perintah Tuhannya.

2. Penolakan Berdasarkan Tafsir Pribadi

Inilah golongan yang telah mendengar tapi menolaknya, “sami’na wa ashaynaa”. Golongan ini banyak di antara mereka yang sebenarnya adalah orang yang cerdas dan alim dalam pengetahuan agamanya, tetapi ia menolak mentah-mentah perintah Allah.

Di antara mereka menafsirkan perintah jilbab hanya untuk istri & anak nabi beserta sahabat, sebagaimana mereka tafsirkan di QS. Al-Ahzab ayat 59. “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang mu’min : Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.”

Orang mukmin diartikan orang yang beriman pada zaman Rasulullah yaitu para sahabat, karena turunnya ayat waktu itu adalah di lingkungan para sahabat, sehingga tidak ada kewajiban buat mereka untuk mengikuti perintah Allah di ayat tersebut. Ayat tersebut mereka tafsirkan sudah mansukh atau sudah dihapuskan karena perintah itu bersifat hanya pada waktu itu saja yaitu ketika Jibril turun akan memberikan wahyu sementara Siti Aisyah, istri nabi, dalam keadaaan tidak berjilbab, lalu Jibril tidak jadi menyampaikan wahyu Allah dan mewahyukan terlebih dahulu kepada nabi perintah untuk berjilbab. Selain hal tersebut alasan lain adalah perintah tersebut seperti orang menyuruh makan/minum kepada seorang tamu yang hanya disampaikan dari tuan rumah sesaat itu saja, selanjutnya tidak lagi.

Sungguh, orang-orang seperti ini dalam kesesatan tafsir yang luar biasa. Bahkan ada seorang cendekiawan muslim yang berijtihad “menolak” perintah tersebut. Sampai-sampai istri dari cendekiawan tersebut dilarang untuk memakai jilbab. Mudah-mudahan Allah mengampuninya, wallaahu a’lam.

3. Adanya Kendala dengan Lingkungan Sekitarnya

Kondisi lingkungan memang sangat berperan dalam kehidupan kita. Baik buruk lingkungan secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kondisi kita. Banyak kendala yang dihadapi oleh muslimah yang belum mengenakan jilbab yang disebabkan oleh lingkungan.

Biasanya lingkungan di tempat kerjanya/sekolah tidak memperbolehkan untuk dirinya berjilbab. Sebenarnya hal ini paling sering terjadi di kalangan pekerja muslimah. Perusahaan biasanya mempunyai dress code yang melarang penggunaan jilbab dengan alasan tidak praktis, tidak sesuai dengan kondisi di lapangan, tidak ingin perusahaannya di cap sebagai perusahaan dengan golongan agama tertentu, tidak fashionable/suitable dengan lingkungan kerja, di luar “kewajaran” dan alasan-alasan lainnya. Untuk masalah ini, baik di dalam maupun di luar negeri telah banyak ditangani pengadilan dan kebanyakan diantaranya dimenangkan oleh pihak muslimah yang ingin berjilbab.

Bisa juga terjadi muslimah tersebut ingin berjilbab atau tahu akan perintah jilbab tetapi jarang berkumpul di majelis ilmu, sehingga ketahuan dan keinginan berjilbab tersebut lama kelamaan terkikis karena yang bersangkutan lebih banyak bergaul di lingkungan yang kurang atau jarang berkumpul dalam majelis ilmu.

4. Adanya Kendala di dalam Dirinya

Kendala lain kenapa muslimah belum mengenakan jilbab adalah belum adanya kemantapan di dalam dirinya. Padahal semua orang sebelum memutuskan melakukan sesuatu pasti akan ragu-ragu dan mengkhayal hal-hal yang buruk atau berandai-andai sehingga niat yang awalnya ada lama kelamaan terkikis habis, ini adalah salah satu bisikan syetan sehingga seorang manusia penuh dalam keragu-raguan.

Kendala di dalam diri muslimah belum mengenakan jilbab biasanya adalah disebabkan karena:

a. Membanding-bandingkan atau mengambil contoh yang salah seperti; si anu dan si anu pakai jilbab tapi tingkah lakunya kok masih jelek seperti itu. Akhirnya di dalam dirinya terekam contoh kejelekan yang hanya tampak di hadapannya atau sebatas yang ia kenal saja. Kesalahan dalam mengambil contoh ini dapat berakibat mengurangi motivasi diri dalam mengenakan jilbab. Hal ini dapat diatasi dengan cara antara lain adalah ;

  • Mulailah berpikir positif, hindari rasa buruk sangka.
  • Ambil pelajaran dan teladani orang-orang shaleh.
  • Lebih banyak datang ke majlis ilmu.
  • Bergaul dengan orang yang lebih paham dalam masalah agama.
  • Sering-sering membaca Al-Qur’an dan buku-buku agama.
  • Tidak menolak atas kecenderungan memakai jilbab, arahkan kecenderungan memakai jilbab ini sebagaimana ada di dalam hati dan jangan menghindari kecenderungan ingin mengenakan jilbab.
  • Tetapkan hati, mulailah dari hal-hal yang ringan, seperti mengenakan pakaian yang dianggap lazim dalam batas kesopanan.

b. Alasan lain belum mengenakan jilbab dalam diri seorang muslimah adalah dia menganggap dirinya adalah seorang yang buruk, atau jahat, atau belum berhati baik, atau tingkah lakunya masih belum Islami, atau belum sempurna ibadahnya, dan lain sebagainya. Ia akan mengenakan jilbab kalau dirinya sudah berubah baik. Padahal kalau kita lihat, selain Rasulullah siapa sih yang sempurna dalam Islam?

Jadi, sudah sebuah sunnatullah kalau iman itu kadang bertambah dan kadang berkurang, “al imaanu yazidu wa yanqusu”. Namun demikian untuk mencapai iman yang sempurna dicapai dengan bertahap. Untuk perkara jilbab apa perlunya kita menunggu sampai kita dibilang “sempurna dalam ibadah”.

Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah secara bertahap, perintah untuk meninggalkan khamr itu juga bertahap sampai benar-benar dilarang sepenuhnya. Demikian juga kita menjadi muslim yang baik juga perlu bertahap, tidak ada yang berubah sekejap mata. Allah saja menciptakan alam semesta bertahap, yaitu dalam 6 masa (QS. 7 : 54), manusia diciptakan juga bertahap dari sel sperma, zygote, segumpal darah, janin, sampai dengan bayi yang lahir ke dunia.

Itulah sunnatullah, jadi apa perlunya kita menunggu memakai jilbab sampai kita benar-benar dikatakan sebagai “orang berkelakuan baik” atau muslim yang baik. Yang jelas setelah wanita berubah mengenakan jilbab, secara perlahan tingkah lakunya akan mengikuti dengan sendirinya, asalkan dia sering datang ke majelis ilmu dan bergaul dengan orang-orang shaleh serta ada kemauan atau niat yang kuat di dalam dirinya.

c. Alasan lainnya adalah kalau wanita mengenakan jilbab, maka ia tidak akan bebas dalam beraktifitas. Mengenakan jilbab akan membuat berkurang kecantikannya, susah dalam bergerak (ribet), susah dalam bergaul, susah dalam beradaptasi dengan lingkungan, dan alasan susah-susah yang lainnya.

Sungguh, alasan seperti itu sekarang ini cukup mudah untuk dapat diatasi. Coba kita lihat sekarang berapa banyak artis film/sinetron yang mengenakan jilbab, berapa banyak tokoh atau ilmuwan di negara-negara muslim yang mengenakan jilbab, berapa banyak wanita yang berjilbab bergaul dengan lingkungannya dengan nyaman dan masih banyak yang lainnya.

Dari hasil penelitian, seorang wanita yang mengenakan jilbab kulit tubuhnya menjadi lebih terjaga, lebih halus, dan bahkan lebih bersih. Hal ini disebabkan karena debu dan sinar matahari tidak langsung mengenai pori-pori kulitnya, meski wanita sudah menggunakan sun block. Untuk rambut kepala akan lebih halus dan terjaga dari rusaknya rambut seperti rambut memerah atau rambut bercabang, karena memang sinar matahari dapat secara langsung membuat rambut kita rusak. Jadi, justru fakta membuktikan mengenakan jilbab akan mampu mempercantik tubuh wanita.

Itulah fenomena jilbab yang insya Allah dengan jilbab salah satunya kebangkitan Islam akan dimulai, karena bagaimana pun juga wanita yang berjilbab selain dia lebih cantik, anggun, identitas diri seorang muslim, juga salah satu ciri wanita yang shalehah adalah wanita yang melaksanakan perintah Allah, dan dari rahim wanita yang shalehah lah terlahir anak yang shaleh. Dan tidak berlebihan kalau Rasulullah berkata bahwa sebaik-baiknya perhiasan di dunia adalah wanita yang shalehah. Maka berbahagialah duhai perempuan.

Jadi, marilah kita mulai “gerakan cinta jilbab!”

“Seperti Apa penampilan saudari seperti itulah penilaian orang lain terhadap kita”

***

Untukmu Perempuan Cantik

Untukmu Perempuan Cantik

2 Votes

Teriring salam sejahtera
Salam ribuan malaikat yang selalu bertasbih kepada-Nya
Diwaktu pagi, siang, sore dan malam.

Demi Allah Yang Maha Suci..
Sungguh Ia telah menciptakan manusia dalam sebaik-baiknya bentuk
Telah ditinggikan derajat manusia dengan akal
Dan dengan mudah pula Ia merendahkankannya
Bahkan lebih rendah dari seburuk-buruknya makhluk

Jika tercipta perempuan sepertimu
Tak ada keraguan bahwa bidadari itu benar adanya
Jika tercipta perempuan sepertimu
Tak ada keraguan bahwa indahnya syurga tak bisa dibayangkan oleh imaji
Jika tercipta perempuan sepertimu
Tak ada keraguan akan keindahan dunia sungguh melenakan
Membuat manusia cinta dunia dan takut akan mati

Wahai perempuan cantik berjilbab
Semoga hijabmu tetap terjaga
Saat niat telah ditetapkan
Saat itu pula amalan shalihmu telah tercatat
Wahai perempuan cantik berjilbab
Jangan engkau tergoda akan tipu daya syaitan
Sesungguhnya ia menggoda dari depan, belakang,
kiri, kanan, atas dan bawah kita
Tidak ada barang sedetikpun dia lengah
untuk menjerumuskan anak adam kepada dosa

Wahai perempuan yang sangat cantik
Sesungguhnya fitnah sangat dekat kepadamu
apabila engkau tiada menjaga budi dan auratmu
Maka takutlah engkau kepada Allah yang tiada pernah tidur barang sekejap
Yang selalu melihat apa yang dilakukan makhluknya walau dengan sembunyi-sembunyi
Yang selalu mendengar segala niat buruk walau baru terbersit dalam hati
Yang selalu menghitung segala amalan dan tiada sebesar biji zarah pun terlewatkan

Wahai perempuan yang sangat cantik
Engkau sangat mempesona
Tiada satu lelakipun yang tahan untuk menundukkan pandangan kecuali yang bertakwa
Maka bersegeralah untuk menikah
Bersegeralah menggenapkan imanmu
Sesungguhnya dalam pernikahan Allah telah membuka pintu-pintu rahmat bagimu

Wahai perempuan yang sangat cantik
Semoga tausiyah ini mengingatkanmu
Mengingatkan akan fananya hidup dan dunia
Bahwa semuanya tiada yang kekal
Hanya dzat Allah lah yang akan terus hidup

Kriteria Wanita Idaman

Kriteria Wanita Idaman


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Setelah sebelumnya kita mengkaji siapakah pria yang mesti dijauhi dan tidak dijadikan idaman maupun idola, maka untuk kesempatan kali ini kita spesial akan membahas wanita. Siapakah yang pantas menjadi wanita idaman? Bagaimana kriterianya? Ini sangat perlu sebelum melangkah ke jenjang pernikahan, sehingga si pria tidak salah dalam memilih. Begitu juga kriteria ini dimaksudkan agar si wanita bisa selalu introspeksi diri. Semoga bermanfaat.

Kriteria Pertama: Memiliki Agama yang Bagus

Inilah yang harus jadi kriteria pertama sebelum kriteria-kriteria lainnya. Tentu saja wanita idaman memiliki aqidah yang bagus, bukan malah aqidah yang salah jalan. Seorang wanita yang baik agamanya tentu saja tidak suka membaca ramalan-ramalan bintang seperti zodiak dan shio. Karena ini tentu saja menunjukkan rusaknya aqidah wanita tersebut. Membaca ramalan bintang sama halnya dengan mendatangi tukang ramal. Bahkan ini lebih parah dikarenakan tukang ramal sendiri yang datang ke rumahnya dan ia bawa melalui majalah yang memuat berbagai ramalan bintang setiap pekan atau setiap bulannya. Jika cuma sekedar membaca ramalan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan, “Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal, lalu ia bertanya mengenai sesuatu, maka shalatnya tidak diterima selama 40 malam.”[1] Jika sampai membenarkan ramalan tersebut, lebih parah lagi akibatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mendatangi dukun atau tukang ramal, lalu ia membenarkan apa yang mereka katakan, maka ia telah kufur pada Al Qur’an yang diturunkan pada Muhammad.”[2]

Begitu pula ia paham tentang hukum-hukum Islam yang berkenaan dengan dirinya dan juga untuk mengurus keluarga nantinya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan seorang pria untuk memilih perempuan yang baik agamanya. Beliau bersabda, “Perempuan itu dinikahi karena empat faktor yaitu agama, martabat, harta dan kecantikannya. Pilihlah perempuan yang baik agamanya. Jika tidak, niscaya engkau akan menjadi orang yang merugi”.[3] Sebenarnya makna “taribat yadak adalah

Inilah kriteria wanita idaman yang patut diperhatikan pertama kali –yaitu baiknya agama- sebelum kriteria lainnya, sebelum kecantikan, martabat dan harta.

Kriteria Kedua: Selalu Menjaga Aurat

Kriteria ini pun harus ada dan jadi pilihan. Namun sayangnya sebagian pria malah menginginkan wanita yang buka-buka aurat dan seksi. Benarlah, laki-laki yang jelek memang menginginkan wanita yang jelek pula.

Ingatlah, sangat bahaya jika seorang wanita yang berpakaian namun telanjang dijadikan pilihan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.”[4] Di antara makna wanita yang berpakaian tetapi telanjang dalam hadits ini adalah:

  1. Wanita yang menyingkap sebagian anggota tubuhnya, sengaja menampakkan keindahan tubuhnya. Inilah yang dimaksud wanita yang berpakaian tetapi telanjang.
  2. Wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya telanjang.[5]

Sedangkan aurat wanita yang wajib ditutupi adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mendekatkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzab [33] : 59). Jilbab bukanlah penutup wajah, namun jilbab adalah kain yang dipakai oleh wanita setelah memakai khimar. Sedangkan khimar adalah penutup kepala.

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nuur [24] : 31). Berdasarkan tafsiran Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Atho’ bin Abi Robbah, dan Mahkul Ad Dimasqiy bahwa yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan.[6]

Kriteria Ketiga: Berbusana dengan Memenuhi Syarat Pakaian yang Syar’i

Wanita yang menjadi idaman juga sepatutnya memenuhi beberapa kriteria berbusana berikut ini yang kami sarikan dari berbagai dalil Al Qur’an dan As Sunnah.

Syarat pertama: Menutupi seluruh tubuh (termasuk kaki) kecuali wajah dan telapak tangan.

Syarat kedua: Bukan memakai pakaian untuk berhias diri.

Allah Ta’ala berfirman,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu ber-tabarruj seperti orang-orang jahiliyyah pertama.” (QS. Al Ahzab : 33). Abu ‘Ubaidah mengatakan, “Tabarruj adalah menampakkan kecantikan dirinya.” Az Zujaj mengatakan, “Tabarruj adalah menampakkan perhiasaan dan setiap hal yang dapat mendorong syahwat (godaan) bagi kaum pria.”[7]

Syarat ketiga: Longgar, tidak ketat dan tidak tipis sehingga tidak menggambarkan bentuk lekuk tubuh.

Syarat keempat: Tidak diberi wewangian atau parfum. Dari Abu Musa Al Asy’ary bahwanya ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang perempuan yang mengenakan wewangian lalu melalui sekumpulan laki-laki agar mereka mencium bau harum yang dia pakai maka perempuan tersebut adalah seorang pelacur.”[8]

Inilah di antara beberapa syarat pakaian wanita yang harus dipenuhi. Inilah wanita yang pantas dijadikan kriteria.

Kriteria keempat: Betah Tinggal di Rumah

Di antara yang diteladankan oleh para wanita salaf yang shalihah adalah betah berada di rumah dan bersungguh-sungguh menghindari laki-laki serta tidak keluar rumah kecuali ada kebutuhan yang mendesak. Hal ini dengan tujuan untuk menyelamatkan masyarakat dari godaan wanita yang merupakan godaan terbesar bagi laki-laki.

Allah Ta’ala berfirman,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

Dan tinggallah kalian di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berdandan sebagaimana dandan ala jahiliah terdahulu” (QS Al Ahzab: 33).

Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat di atas mengatakan, “Hendaklah kalian tinggal di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah kalian keluar rumah kecuali karena ada kebutuhan”.[9]

Dari Abdullah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perempuan itu aurat. Jika dia keluar rumah maka setan menyambutnya. Keadaan perempuan yang paling dekat dengan wajah Allah adalah ketika dia berada di dalam rumahnya”.[10]

Kriteria Kelima: Memiliki Sifat Malu

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِى إِلاَّ بِخَيْرٍ

Rasa malu tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan.”[11]

Kriteria ini juga semestinya ada pada wanita idaman. Contohnya adalah ketika bergaul dengan pria. Wanita yang baik seharusnya memiliki sifat malu yang sangat. Cobalah perhatikan contoh yang bagus dari wanita di zaman Nabi Musa ‘alaihis salam. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ (23) فَسَقَى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّى إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ (24)

Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia men- jumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya”. Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya.” (QS. Qashash: 23-24). Lihatlah bagaimana bagusnya sifat kedua wanita ini, mereka malu berdesak-desakan dengan kaum lelaki untuk meminumkan ternaknya. Namun coba bayangkan dengan wanita di zaman sekarang ini!

Demikianlah kriteria wanita yang semestinya jadi idaman. Namun kriteria ini baru sebagian saja. Akan tetapi, kriteria ini semestinya yang dijadikan prioritas.

Intinya, jika seorang pria ingin mendapatkan wanita idaman, itu semua kembali pada dirinya. Ingatlah: ”Wanita yang baik untuk laki-laki yang baik”. Jadi, hendaklah seorang pria mengoreksi diri pula, sudahkah dia menjadi pria idaman, niscaya wanita yang ia idam-idamkan di atas insya Allah menjadi pendampingnya. Inilah kaedah umum yang mesti diperhatikan.

Semoga Allah memudahkan kita untuk selalu mendapatkan keberkahan dalam hidup ini.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.remajaislam.com


[1] HR. Muslim no. 2230, dari Shofiyah, dari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[2] HR. Ahmad (2/492). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[3] HR. Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 1446, dari Abu Hurairah.

[4] HR. Muslim no. 2128, dari Abu Hurairah.

[5]Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 17/190-191, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua.

[6] Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Amru Abdul Mun’im, hal. 14.

[7] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 5/133, Mawqi’ Al Islam.

[8] HR. An Nasa’i, Abu Daud, Tirmidzi dan Ahmad. Syaikh Al Albani dalam Shohihul Jami’ no. 323 mengatakan bahwa hadits ini shohih.

[9]Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11/150.

[10] HR Ibnu Khuzaimah no. 1685. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.

[11] HR. Bukhari no. 6117 dan Muslim no. 37, dari ‘Imron bin Hushain.

Ingat…10 Karakter Muslim/Muslimah Sejati

Ingat…10 Karakter Muslim/Muslimah Sejati

Posted at 11:14 under Tak Berkategori


Karakter ini merupakan pilar pertama terbentuknya masyarakat islam maupun tertegaknya sistem islam dimuka bumi serta menjadi tiang penyangga peradaban dunia.

Kesepuluh karakter itu adalah :

Salimul Aqidah, Bersih Akidahnya dari sesuatu hal yang mendekatkan dan menjerumuskan dirinya dari lubang syirik.


Shahihul Ibadah, Benar Ibadahnya menurut AlQur’an dan Assunnah serta terjauh dari segala Bid’ah yang dapat menyesatkannya.

Matinul Khuluq, Mulia Akhlaknya sehingga dapat menunjukkan sebuah kepribadian yang menawan dan dapat meyakinkan kepada semua orang bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan Lil Alamin).

Qowiyul Jismi, Kuat Fisiknya sehingga dapat mengatur segala kepentingan bagi jasmaninya yang merupakan amanah/titipan dari Alloh SWT.

Mutsaqoful Fikri, Luas wawasan berfikirnya sehingga dia mampu menangkap berbagai informasi serta perkembangan yang terjadi disekitarnya.

Qodirun ‘alal Kasbi, Mampu berusaha sehingga menjadikannya seorang yang berjiwa mandiri dan tidak mau bergantung kepada orang lain dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya.

Mujahidun linafsihi, Bersungguh sungguh dalam jiwanya sehingga menjadikannya seseorang yang dapat memaksimalkan setiap kesempatan ataupun kejadian sehingga berdampak baik pada dirinya ataupun orang lain.

Haritsun ‘ala waqtihi, Efisien dalam memanfaatkan waktunya sehingga menjadikannya sebagai seorang yang pantang menyiakan waktu untuk melakukan kebaikan, walau sedetikpun. karena waktu yang kita gunakan selama hidup ini akan dipertanggungjawabkan dihadapan Alloh SWT.

Munazhom Fii Su’unihi, Tertata dalam urusannya sehingga menjadikan kehidupannya teratur dalam segala hal yang menjadi tanggung jawab dan amanahnya. Dapat menyelesaikan semua masalahnya dengan baik dengan cara yang baik.

Naafi’un Li Ghairihi, Bermanfaat bagi orang lain, sehingga menjadikannya seseorang yang bermanfaat dan dibutuhkan. Keberadaannya akan menjadi sebuah kebahagiaan bagi orang lain dan Ketiadaannya akan menjadikan kerinduan pada orang lain.

Mudah-mudahan dengan kesepuluh karakter yang dikemukakan diatas menjadikan kita termotivasi untuk dapat merealisasikannya dalam diri kita.Amin.

Catatan:
* 10 karakter Muslim/Muslimah sejati ini dirumuskan oleh Hasan Albana

"MAKNA"WANITA DI CIPTAKAN DARI TULANG RUSUK YG BENGKOK

Pertanyaan:

Disebutkan dalam sebuah hadits, “Berbuat baiklah kepada wanita, karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, sedangkan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas,” dst. Mohon penjelasan makna hadits dan makna ‘tulang rusuk yang paling bengkok adalah tulang rusuk yang paling atas’?

Jawaban:

Ini adalah hadits shahih yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim di masing masing kitab Shahih mereka, dari Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam. Dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa nabi shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda,

“Berbuat baiklah kepada wanita, karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas.Maka sikapilah para wanita dengan baik.”
(HR al-Bukhari Kitab an-Nikah no 5186)

Ini adalah perintah untuk para suami, para ayah, saudara saudara laki laki dan lainnya untuk menghendaki kebaikan untuk kaum wanita, berbuat baik terhadap mereka , tidak mendzalimi mereka dan senantiasa memberikan ha-hak mereka serta mengarahkan mereka kepada kebaikan. Ini yang diwajibkan atas semua orang berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam, “Berbuat baiklah kepada wanita.”

Hal ini jangan sampai terhalangi oleh perilaku mereka yang adakalanya bersikap buruk terhadap suaminya dan kerabatnya, baik berupa perkataan maupun perbuatan karena para wanita itu diciptakan dari tulang rusuk, sebagaimana dikatakan oleh Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam bahwa tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas.

Sebagaimana diketahui, bahwa yang paling atas itu adalah yang setelah pangkal rusuk, itulah tulang rusuk yang paling bengkok, itu jelas. Maknanya, pasti dalam kenyataannya ada kebengkokkan dan kekurangan. Karena itulah disebutkan dalam hadits lain dalam ash-Shahihain.

“Aku tidak melihat orang orang yang kurang akal dan kurang agama yang lebih bias menghilangkan akal laki laki yang teguh daripada salah seorang diantara kalian (para wanita).”
(HR. Al Bukhari no 304 dan Muslim no. 80)

Hadits Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam yang disebutkan dalam ash shahihain dari hadits Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu. Makna “kurang akal” dalam sabda Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam adalah bahwa persaksian dua wanita sebanding dengan persaksian seorang laki laki. Sedangkan makna “kurang agama” dalam sabda beliau adalah bahwa wanita itu kadang selama beberapa hari dan beberapa malam tidak shalat, yaitu ketika sedang haidh dan nifas. Kekurangan ini merupakan ketetapan Allah pada kaum wanita sehingga wanita tidak berdosa dalam hal ini.

Maka hendaknya wanita mengakui hal ini sesuai dengan petunjuk nabi shalallahu ‘alayhi wasallam walaupun ia berilmu dan bertaqwa, karena nabi shalallahu ‘alayhi wasallam tidak berbicara berdasarkan hawa nafsu, tapi berdasar wahyu yang Allah berikan kepadanya, lalu beliau sampaikan kepada ummatnya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
(Qs. An-Najm:4)

Sumber:
Majmu Fatawa wa Maqadat Mutanawwi’ah juz 5 hall 300-301, Syaikh Ibn Baaz Fatwa fatwa Terkini Jilid 1 Bab Perlakuan Terhadap Istri penerbit Darul Haq

***
(muslimah.or.id)

Tipe Wanita Dalam Al-Qur’an

Tipe Wanita Dalam Al-Qur’an

Oleh: Ahmad Dailami Toha
Ketika memasuki sebuah showroom, butik atau toko yang menjual pakaian wanita, kita akan mendapatkan pakaian dalam berbagai bentuk, corak dan ragamnya. Mau pilih yang mana? Semuanya terserah kita. Sebab kita sendiri yang akan memakainya. Kita pula yang akan menerima konsekuensi dari memakai pakaian tersebut.
Pakaian dapat kita analogikan dengan kepribadian. Seperti halnya pakaian, kepribadian wanita pun memiliki beragam jenis dan corak. Kita diberi kebebasan untuk memilih tipe mana saja yang paling disukainya. Namun ingat, dalam setiap pilihan ada tanggung jawab yang harus dipikul. Karena itu, agar tidak menyesal dikemudian hari, Al-Qur’an memberi tuntunan kepada orang-orang beriman (khususnya Muslimah) agar tidak salah dalam memilih kepribadian.
Setidaknya ada lima tipe wanita dalam Al-Qur’an.
PERTAMA, tipe pejuang.
Wanita tipe pejuang memiliki kepribadian kuat. Ia berani menanggung risiko apa pun saat keimanannya diusik dan kehormatannya dilecehkan. Tipe ini diwakili oleh Siti Asiyah binti Mazahim, istri Fir’aun. Walau berada dalam cengkraman Fir’aun, Asiyah mampu menjaga akidah dan harga dirinya sebagai seorang Muslimah. Asiyah lebih memilih istana di surga daripada istana di dunia yang dijanjikan Fir’aun. ALLAH SWT mengabadikan doanya, Dan Allah menjadikan perempuan Fir’aun teladan bagi orang-orang beriman, dan ia berdoa,
Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkan aku dari kaum yang zalim (QS. At Tahriim [66]: 11).
KEDUA, tipe wanita shalihah yang menjaga kesucian dirinya.
Tipe ini diwakili Maryam binti Imran. Hari-harinya ia isi dengan ketaatan kepada ALLAH. Ia pun sangat konsisten menjaga kesucian dirinya. “Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusia pun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!”. Demikian ungkap Maryam (QS Maryam [19]: 20). Karena keutamaan inilah, ALLAH SWT mengabadikan namanya sebagai nama salah satu surat dalam Al-Qur’an (QS. Maryam [19]). Maryam pun diamanahi untuk mengasuh dan membesarkan Kekasih ALLAH, Isa putra Maryam (QS Maryam [19]: 16-34).
ALLAH SWT memuliakan Maryam bukan karena kecantikannya, namun karena keshalihan dan kesuciannya.
KETIGA, tipe penghasut, tukang fitnah dan biang gosip.
Tipe ini diwakili Hindun, istrinya Abu Lahab. Al-Qur’an menjulukinya sebagai “pembawa kayu bakar” alias penyebar fitnah. Dalam istilah sekarang wanita penyiram bensin.
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya ia akan binasa. demikian pula istrinya, pembawa kayu bakar yang di lehernya ada tali dari sabut (QS Al Lahab [111]: 1-5).
Bersama suaminya, Hindun bahu membahu menentang dakwah Rasulullah SAW, menyebar fitnah dan melakukan kezaliman. Isu yang awalnya biasa, menjadi luar biasa ketika diucapkan Hindun.
KEEMPAT, tipe wanita penggoda.
Tipe ini diperankan Zulaikha saat menggoda Nabi Yusuf. Petualangan Zulaikha diungkapkan dalam Al-Qur’an,
Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata, Marilah ke sini. Yusuf berkata, Aku berlindung kepada ALLAH, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung (QS. Yusuf [12]: 23).
Tipe wanita penggoda inilah yang sangat merusak kehidupan dunia dikarenakan seorang wanita tipe ini tidak segan-segan menggoda siapa saja baik laki laki beristri ataupun tidak, akibat dari perbuatannya akan berakibat kehancuran rumah tangga orang lain, dan harga diri perempuan tipe ini sangat jatuh dan tidak bermartabat. Di dunia modern saat ini sering dinamai perempuan murahan. Apabila ada peluang menggoda pasti dia akan lakukan, jangankan digoda justru perempuannya yang menggoda, padahal sifat penggoda ada pada sifat laki laki.
KELIMA, tipe wanita pengkhianat dan ingkar terhadap suaminya.
ALLAH SWT memuji wanita yang tidak taat kepada suaminya yang zalim, seperti dilakukan perempuan Fir’aun (QS At Tahriim [66]: 11). Namun, pada saat bersamaan Allah pun mengecam perempuan yang bekhianat kepada suaminya (yang saleh). Istrinya Nabi Nuh dan Nabi Luth mewakili tipe ini. Saat suaminya memperjuangkan kebenaran, mereka malah menjadi pengkhianat dakwah. Difirmankan,
ALLAH membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shaleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) ALLAH; dan dikatakan kepada keduanya), Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka). (QS. At Tahriim [66]: 10).
Wanita-wanita yang dikisahkan Al-Qur’an ini hidup ribuan tahun lalu. Namun karakteristik dan sifatnya tetap abadi sampai sekarang. Ada tipe pejuang yang kokoh keimanannya. Ada wanita salehah yang tangguh dalam ibadah dan konsisten menjaga kesucian diri. Ada pula tipe penghasut, penggoda dan pengkhianat. Terserah kita mau pilih yang mana. Bila memilih tipe pertama dan kedua, maka kemuliaan dan kebahagiaan yang akan kita dapatkan. Sedangkan bila memilih tiga tipe terakhir, kehinaan di dunia dan kesengsaraan akhiratlah akan kita rasakan.
Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang memberi penerangan, dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kamu dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa (QS. An Nuur [24]: 34).
Wallaahu a’lam

HADIST HADIST DIATAS CINTA

Posted on by ibh3
3 Votes

Dari anas bin malik radliyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu’alaihiw a sallam bersabda: “Ada tiga hal yang barangsiapa memilikinya niscaya ia akan mendapatkan manisnya iman: (1). Allah ta’ala dan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam lebih ia cintai daripada yang lainnya, (2). Mencintainya seseorang, tidaklah ia mencintainya melainkan karena Allah ta’ala, (3). Benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah ta’ala menyelamatkan darinya sebagaimana ia benci dirinya dimasukkan ke dalam api”[1]

Merasakan manisnya sesuatu merupakan buah dari cinta terhadapnya. Di kala seseorang mencintai sesuatu atau menyukai lantas mendapatkannya, maka ia akan merasakan manis, lezat dan bahagia karenanya. Demikian pula manisnya iman yang dirasa oleh seorang mukmin; kelezatan dan kebahagiaan yang ia dapatkan dalam keimanannya sebanding dengan cinta yang ada dalam dirinya. Dan hal itu akan ia dapatkan dengan melakukan tiga hal yang disebutkan oleh hadits di atas.[2]

Yang berhak dicinta di atas cinta

Cinta, sebuah kata yang indah didengar, manis diucapkan, nikmat dirasakan. Cinta adalah karunia dan rohmat dari Allah ta’ala yang Dia berikan dan Dia bagikan kepada manusia.

Segala puji bagi Allah ta’ala yang telah menjadikan cinta sebagai jalan menuju apa yang dicintai-Nya, dan telah menjadikan ketaatan dan ketundukan kepada-Nya sebagai dalil atas kebenaran dan kejujuran cinta. Dia-lah yang telah menggerakkan jiwa dengan cinta menuju kesempunaan. Mahasuci Allah yang telah memalingkan hati kepada yang Dia kehendaki dan untuk apa yang Dia kehendaki dengan kekuasaan-Nya. Dia lah yang menjadikan cinta bercorak dan bercita warna, membagikan cinta kepada para hamba-Nya, memberikan pilihan kepada mereka apa dan siapa yang dicintainya; ada cinta yang mulia dan ada yang hina, ada yang cinta harta, wanita, tahta dan segala yang nista.

Namun ada sebuah cinta yang paling mulia, (yaitu) cinta kepada Sang Pencipta cinta, yang telah menciptakan alam semesta dengan cinta, dan untuk cinta, karena pada hakikatnya cinta yang tertinggi dan termulia dari hamba adalah menghamba kepada-Nya. Dan tiada yang berhak menerima cinta termulia ini melainkan Dzat yang seluruh alam semesta harus tunduk kepada-Nya. Karena tidaklah jin dan manusia diciptakan melainkan untuk menghamba kepada-Nya. Dan seluruh cinta harus tunduk di bawah cinta-Nya dan cinta karena-Nya.

Semakin bertambah cinta seorang mukmin kepada Allah ta’ala dan Rasul-Nya, semakin bertambah pula rasa manis imannya. Karena iman memiliki rasa manis dalam hati, kelezatan iman yang tidak diketahui melainkan oleh Allah ta’ala, itulah cinta di atas cinta[3].

Cinta Hakiki Cinta Yang Terbukti

Cinta butuh kepada bukti untuk bisa diakui kebenaran cintanya. Karena siapapun bisa saja mengaku cinta, namun tidak semua pengakuan cinta itu hakiki dan sejati, dan tidak semua pengakuan cinta itu abadi. Ada tanda-tanda dan bukti cinta yang harus diwujudkan hingga bisa diketahui manakah sebenarnya cinta yang sejati dan mana yang hanya sekedar cinta palsu. Demikian pula apakah cinta itu tulus dan murni ataukah sebenarnya ada keinginan lain dibalik pengakuan cinta, apalagi jika pengakuan cinta itu ditujukan kepada Allah dan Rasul-Nya, atau cinta karena Allah ta’ala dan benci karena-Nya; tentu bukan pengakuan yang sepele dan mudah diucapkan begitu saja, tetapi disinilah ukuran iman akan ditentukan. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

”Tidaklah seorang hamba beriman hingga aku menjadi orang yang lebih ia cintai daripada keluarganya, hartanya dan manusia semuanya.” (HR. Bukhori)

Allah ta’ala juga berfirman:

”Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri” (QS. Al-Ahzab: 6).

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Hisyam radliyallahu’anhu bahwa ia berkata: Kami bersama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam ketika itu beliau shallallahu’alaihi wa sallam menggandeng Umar bin al Khattab radliyallahu’anhu lalu Umar berkata kepada beliau,

”Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri”.

Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

”Tidak ![4] Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan Nya, hingga aku menjadi orang yang lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri”

Maka ’Umar radliyallahu’anhu pun berkata kepada beliau, ”Sesungguhnya sekarang, Demi Allah, engkau sungguh lebih aku cintai daripada diriku sendiri”.

Maka beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

”Sekaranglah wahai Umar !”[5] yakni, baru sekaranglah imanmu sempurna.

Pedoman Hakikat Cinta

Allah ta’ala telah memberikan sebuah pedoman untuk mengetahui hakikat pengakuan cinta seseorang, (yaitu) bahwa yang menjadi ukuran dan bukti cinta seseorang kepada Allah ta’ala adalah sejauh mana dia dalam ber ittiba’ (mengikuti petunjuk) Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Allah berfirman:

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورُُ رَّحِيمُُ

”Katakanlah: ’Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian’. Allah Maha Pengampun dan Penyanyang” (QS. Ali-’Imron: 31)

Ittiba’ kepada Rasulullah merupakan bukti cinta hamba kepada Allah ta’ala. Dan Allah ta’ala memberikan janji kepada hamba-Nya berupa balasan cinta-Nya ketika memenuhi syarat cinta. Karena yang paling penting dan paling agung bukanlah pengakuan hamba bahwa ia mencintai-Nya, namun yang paling penting dan agung adalah ketika ia dicintai dan dibalas cintanya oleh yang dicintainya.

Ayat ini juga menunjukkan bahwa ittiba’ kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam adalah bukti dan realisasi pengakuan cinta seseorang kepada Rasulullah yang harus didahulukan dan diletakkan di atas cinta kepada yang lainnya. Dan inilah hakikat cinta kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang sebenarnya. Barangsiapa yang menyelisihi, menyimpang dan meninggalkan ittiba’, apalagi mengolok-olok, meremehkan, menghina dan menghujat sunnah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, berarti dia telah bermaksiat kepada Allah ta’ala, sekaligus menafikan kesempurnaan atau bahkan seluruh imannya.

Hanya kepada-Nya lah seharusnya kita memberikan cinta di atas cinta. Walillahil mahabbah.

Penulis: Ust. Abu Abdirrahman

Sumber: Majalah alMawaddah Edisi ke-5 Tahun ke-2 Dzulhijjah 1429/ Desember 2008 hal. 12-13.

[1] Diriwayatkan Bukhori dalam kitab al-Iman, bab Halawatil Iiman 1/14 no. 16; dan Muslim dalam kitab al-Iman, bab Bayan Khisholi Man Ittashofa Bihinna Wajada Halawatal Imaan 1/48 no. 174, an-Nasa’I 8/470 no. 4901, dan Ahmad 3/103 no. 12025

[2] Lihat Majmu’ Fatawa 10/205-206

[3] Disarikan dari Muqoddimah Ibnul Qoyyim dalam Roudhotul Muhibbin dari Majmu’ Fatawa 10/648-650

[4] Yakni belum sempurna imanmu

[5] Diriwayatkan al-Bukhori dalam kitab al-Aiman wan nudzuur bab kaifa kaanat yaminun Nabi shallallahu’alaihi wa sallam 6/2445 no. 6257.

Wahai Wanita Shalihah

Wahai Wanita Shalihah

Sejak dulu isu poligami selalu menarik tetapi pendekatan yang dipakai dalam membahasnya selalu saja dari aspek teologis. Padahal, fenomena poligami itu sangat menarik dibahas dari berbagai aspek: psikologis, seksologis, sosiologis, dan juga teologis

Realitas sosiologis di masyarakat menjelaskan bahwa poligami selalu dikaitkan dengan ajaran Islam. Sejumlah pertanyaan muncul:

  • Apakah betul Islam mengajarkan poligami?
  • Apakah benar Rasul mempraktekkan poligami?
  • Bagaimana seharusnya kita membaca teks-teks agama yang secara tekstual bicara tentang poligami?

Data-data historis secara jelas menginformasikan bahwa ribuan tahun sebelum Islam turun di Jazirah Arab, masyarakat di berbagai belahan dunia telah mengenal dan bahkan secara luas mempraktekkan poligami sehingga ketika itu sulit sekali menemukan bentuk perkawinan monogami, termasuk pada masyarakat Arab yang terkenal jahiliyah.

Poligami yang berlangsung saat itu tidak mengenal batas, baik dalam hal jumlah istri maupun syarat moralitas keadilan. Lalu, Islam datang melakukan reformasi secara radikal terhadap perilaku poligami yang tidak manusiawi itu.

Reformasi Islam menyangkut dua hal: pertama, membatasi jumlah istri hanya empat, dan kedua, ini yang paling radikal, bahwa poligami hanya dibolehkan bagi suami yang menjamin keadilan untuk para istri.

Perubahan drastis inilah yang kemudian diapresiasi oleh Robert Bellah, seorang sosiolog terkenal asal Amerika Serikat, yang menyebut Islam sebagai agama yang sangat modern untuk ukuran masa itu, “It was too modern to succeed,” komentarnya.

.
.
.

………….. [ ... Read More ... ] ……………..

Muslimah Yang Melahirkan Generasi Emas

Muslimah Yang Melahirkan Generasi Emas

1 Vote

Sesungguhnya, dalam menjalani berbagai perannya, peran wanita dapat dipetakan menjadi tiga peran penting yaitu sebagai sebagai pribadi muslimah, sebagai istri, dan sebagai ibu. Pada masing-masing peran, dibutuhkan ilmu yang dapat menjaganya dari berbagai bentuk penyimpangan. Berikut penjelasan ketiga hal tersebut:

1. Sebagai pribadi muslimah

Seorang muslimah akan selalu terikat dengan berbagai aturan agama yang menyangkut dirinya sebagai seorang yang beragama Islam seperti kewajiban untuk merealisasikan rukun iman dan rukun Islam serta aturan lain yang merupakan konsekuensi dari kedua hal tersebut ataupun kewajiban yang terkait dengan kedudukannya sebagai seorang wanita seperti larangan dan kewajiban pada masa haid, kewajiban menutup aurot, dan sebagainya. Seluruh hal tersebut memerlukan ilmu sehingga kewajiban menuntut ilmu juga dibebankan kepda kaum wanita sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut,

طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Mencari ilmu itu merupakan kewajiban bagi seorang muslim.” (Hadits shahih riwayat Ibnu Adi dan Baihaqi dari Anas radhiyallahu ‘anhu )

Al Hafizh Al Sahawi rahimahullah berkata, “Sebagian penulis menambahkan kata-kata muslimatin pada akhir hadits. Kata-kata ini tidak pernah disebutkan satu kali pun dalam berbagai sanad hadits tersebut, sekalipun secara makna memang benar.”

Bertolak dari hal ini Ibnu Hazm rahimahullah berkomentar, “Menjadi kewajiban bagi wanita untuk pergi dalam rangka mendalami ilmu agama sebagaimana hal ini menjadi kewajiban bagi kaum laki-laki. Setiap wanita diwajibkan untuk mengetahui ketentuan-ketentuan agama berkenaan dengan permasalahan bersuci, shalat, puasa dan makanan, minuman, serta pakaian yang dihalalkan dan yang diharamkan sebagaimana kaum laki-laki, tanpa ada perbedaan sedikitpun di antara keduanya. Mereka juga harus mempelajari berbagai tutur kata dan sikap yang benar baik dengan belajar sendiri maupun dengan diperkenankan untuk bertemu seseorang yang dapat mengajarinya. Menjadi kewajiban para penguasa untuk mengharuskan rakyatnya agar menjalankan kewajiban ini”. (Al Ihkam fii Ushulil Ahkam 1/413 dalam Para Ulama Wanita Pengukir Sejarah, hlm. 7).

Al Hafizh Ibnul Jauzi rahimahullah juga berkata, “Sering aku menganjurkan kepada manusia agar mereka menuntut ilmu syar’i karena ilmu laksana cahaya yang menyinari. Menurutku kaum wanita lebih dianjurkan dibanding kaum laki-laki karena jauhnya mereka dari ilmu agama dan hawa nafsu begitu mengakar dalam diri mereka. Kita lihat seorang putri yang tumbuh besar tidak mengerti cara bersuci dari haid, tidak bisa membaca Al Qur’an dengan baik dan tidak mengerti rukun-rukun Islam atau kewajiban istri terhadap suami. Akhirnya mereka mengambil harta suami tanpa izinnya, menipu suami dengan anggapan boleh demi keharmonisan rumah tangga serta musibah-musibah lainnya.” (Ahkamun Nisa’ hlm. 6 dalam Majalah Al Furqon edisi 11 tahun VII).

2. Sebagai istri

Seorang istri memiliki kewajiban untuk menaati suaminya dalam hal-hal yang bukan merupakan kemaksiatan terhadap Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى المَََْعْرُوْفِ

“Tidak (boleh) taat (terhadap perintah) yang di dalamnya terdapat maksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebajikan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka tidaklah seorang istri dapat mengetahui apakah suatu urusan merupakan kemaksiatan atau bukan kecuali dengan ilmu syar’i.

Selain itu, di akhir zaman ini, ketika keburukan banyak bertebaran di muka bumi yang membuat banyak orang hanyut dalam lumpur dosa, maka seorang istri yang sholihah harus membekali dengan ilmu syar’i agar dapat menjaga keistiqomahan dirinya dan suaminya serta keluarganya. Dengan nasihat yang baik dan kelemahlembutan yang dimiliki seorang wanita, seorang suami akan mampu menemukan ketenangan dan kekuatan yang akan menjaga dirinya dan keluarganya dari perbuatan-perbuatan dosa misalnya berbuat syirik dan bid’ah, berzina, mencari nafkah yang haram, mengambil riba, dan perkara-perkara maksiat lainnya. Karena agama adalah nasihat sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الـدِيْـنُ النَصِيْحَةُ

“Agama adalah nasihat” (HR. Muslim)

Nasihat akan lebih dapat diterima oleh hati manusia jika diiringi dengan sikap lemah lembut. Allah Ta’ala berfirman dalam rangka memberi perintah kepada Nabi Musa ‘alaihissalam dan saudaranya (Harun) ketika berdakwah kepada Fir’aun,

اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى٭ فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى٭

“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Qs. Thaahaa : 43-44)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam sebuah hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

يَا عَائِشَة إِنَّ الرِّفْقَ مَا كَانَ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَنُزِعَ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ

“Wahai ‘Aisyah, tidaklah kelembutan terdapat pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut dari sesuatu melainkan akan memburukkannya.”

3. Sebagai ibu

Sebuah syair Arab mengungkapkan hal berikut,

الأُمُّ مَدْرَسَةٌ إِذَا أَعْدَدْتَهَا أَعْدَدْتَ شَعْبًا طَيِّبَ الْأَعْرَاقِ

“Seorang ibu tak ubahnya bagai sekolah. Bila kita mempersiapkan sekolah itu secara baik, berarti kita telah mempersiapkan suatu bangsa dengan generasi emas.”

Beban perbaikan dan pembentukan masyarakat yang Islami juga menjadi tanggung jawab wanita. Hal ini dikarenakan jumlah wanita yang lebih banyak dari laki-laki dan seorang anak tumbuh dari bimbingan seorang wanita. Maka, tidak bisa tidak seorang wanita harus membekali dirinya dengan ilmu syar’i khususnya mengenai pendidikan anak karena pendidikan anak menjadi tugas utama yang dibebankan kepada kaum wanita.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Hendaknya seorang wanita membaguskan pendidikan anak-anaknya karena anak-anaknya adalah generasi penerus di masa yang akan datang. Dan yang mereka contoh pertama kali adalah para ibu. Jika seorang ibu mempunyai akhlak, ibadah, dan pergaulan yang bagus, mereka akan tumbuh terdidik di tangan seorang ibu yang bagus. Anak-anaknya ini akan mempunyai pengaruh positif dalam masyarakat. Oleh karena itu, wajib bagi para wanita yang mempunyai anak untuk memperhatikan anak-anaknya, bersungguh-sungguh dalam mendidik mereka, memohon pertolongan jika suatu saat tidak mampu memperbaiki anaknya baik lewat bantuan bapak atau jika tidak ada bapaknya lewat bantuan saudara-saudaranya atau pamannya dan sebagainya”. (Daurul Mar’ah fi Ishlah Al Mujtama’ hlm. 25-26 dalam Majalah Al Furqon edisi 12 tahun VIII)

Seorang ibu yang cerdas dan shalihah tentu saja akan melahirkan keturunan yang cerdas dan sholih pula, bi idzinillah. Lihatlah hal itu dalam diri seorang shahabiyah yang mulia, Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha, ibunda Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang merupakan pembantu setia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain cerdas, ia juga penyabar dan pemberani. Ketiga sifat mulia inilah yang menurun kepada Anas dan mewarnai perangainya di kemudian hari. (Ibunda Para Ulama, hlm.25)

Dengan kecerdasannya, ia ‘hanya’ meminta sebuah mahar yang ringan diucapkan namun terasa berat konsekuensinya, yaitu keislaman Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu yang meminangnya saat itu. Dengan kesabarannya pula, ia mampu menyimpan rapat-rapat kesedihannya karena kematian putranya demi menenangkan suaminya.

Potret Semangat Para Salafush Shalih dalam Menuntut Ilmu

Demikian pentingnya peran para wanita. Dalam setiap lini kehidupannya, pasti membutuhkan ilmu syar’i. Hal ini pula yang dimengerti betul oleh para shahabiyah pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga mereka meminta waktu khusus pada beliau untuk mengkaji masalah-masalah agama.

Dari Abu Sa’id Al Khudriy radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa ada seorang wanita menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, kaum laki-laki telah memborong waktumu. Oleh karenanya peruntukkanlah untuk kami sebuah waktu khusus yang engkau tetapkan sendiri. Pada waktu itu kami akan mendatangimu lalu engkau ajarkan kepada kami ilmu yang telah Allah ajarkan kepadamu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Berkumpullah kalian pada hari ini dan ini di tempat ini.” Kaum wanita pun berkumpul, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mendatangi mereka dan mengajari mereka ilmu yang telah Allah ajarkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Semangat kaum wanita muslimah dalam mencari ilmu telah mencapai puncaknya hingga mereka menuntut adanya majelis ilmu yang khusus diperuntukkan untuk mengajari mereka. Padahal sebenarnya mereka telah mendengarkan kajian Rasulullah di masjid serta nasihat-nasihat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikian juga keadaan para wanita Anshar pada masa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Sebaik-baik wanita adalah wanita dari kaum Anshar. Rasa malu tidak menghalangi diri mereka untuk mendalami ilmu agama.” (HR. Muslim)

Kita jumpai pula bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menganjurkan kaum wanita untuk menghadiri berbagai majelis ilmu guna menambah bekal keilmuan mereka.

Dari Ummu ‘Athiyah al Anshariyyah ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kami untuk menghadiri sholat hari raya ‘Idul Fithri dan hari raya ‘Idul Adha, baik awatiq (gadis yang sudah baligh atau hampir baligh), maupun wanita-wanita yang sedang haid dan juga gadis-gadis pingitan. Adapun wanita yang sedang haid, mereka hendaknya tidak berada di tempat shalat. Saat itu mereka menyaksikan kebaikan dan doa yang dipanjatkan oleh kaum muslimin. Ummu Athiyah berkata, “Wahai Rasulullah, salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya muslimah yang lain meminjami jilbab untuknya.” (HR. Bukhari dan Muslim) (Para Ulama Wanita Pengukir Sejarah, hlm. 8-10)

Sejarah telah mencatat, ulama tidak hanya berasal dari kalangan laki-laki saja. Ada banyak ulama wanita yang masyhur dan bahkan menjadi rujukan bagi ulama dari kalangan laki-laki. Lihat saja ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, wanita cerdas yang namanya akan terus dibaca oleh kaum muslimin dalam banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Aisyah pula yang merupakan sebaik-baik teladan para wanita dalam menuntut ilmu, baik itu ilmu agama maupun ilmu umum. Az Zuhri mengatakan, “Andai ilmu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha itu dikumpulkan lalu dibandingkan dengan ilmu seluruh wanita, niscaya ilmu yang dimiliki oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha itu lebih unggul”. (Al Haitsami berkata dalam al Majma’ (9/243), “Hadits ini diriwayatkan oleh Ath Thabarani sedangkan rawi-rawinya adalah orang yang bisa dipercaya.” Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al Hakim 4/139. Lihat: Para Ulama Wanita Pengukir Sejarah, hlm. 20)

Begitu juga dengan masa setelah para shahabat (yaitu masa tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan seterusnya). Setiap zaman selalu menorehkan tinta emas nama-nama para ulama wanita hingga masa sekarang ini. Di antara mereka, adalah putri-putri ulama besar di jamannya. Sebut saja putri Sa’id bin Musayyib (tabi’in), putri Imam Malik, Ummu ‘Abdillah binti Syaikh Muqbil bin Hadi, dan lainnya.

Apakah ilmu yang mereka dapatkan itu merupakan ilmu warisan dari ayah-ayah mereka yang seorang ulama? Jawabannya, tentu tidak. Ilmu bukanlah harta benda yang dapat diwariskan begitu saja.

Alangkah bagusnya apa yang diceritakan oleh Al Farwi, “Kami pernah duduk di majelis Imam Malik. Pada saat itu putra beliau keluar masuk majelis dan tidak mau duduk untuk belajar. Maka Imam Malik menghadap kami seraya berkata, “Masih ada yang meringankan bebanku yaitu bahwa masalah ilmu ini tidak bisa diwariskan.” (Majalah al Furqon edisi 12 tahun VI)

Tentu saja ilmu yang mereka dapatkan tidak datang begitu saja. Ada usaha dan pengorbanan yang besar untuk meraihnya. Mari kita simak kegigihan para salaf dahulu dalam menuntut ilmu.

Hasan Al Bashri berkata, “Apabila engkau mendapati seseorang yang mengalahkanmu dalam urusan dunia, maka kalahkanlah dia dalam urusan akhirat.”

Imam Ahmad berwasiat kepada putranya, “Aku telah menginfakkan diriku untuk perjuangan”. Ketika Imam Ahmad ditanya kapan seseorang dapat beristirahat? Maka beliau menjawab, “Ketika pertama kali menginjakkan kakinya di surga.”

Imam Adz Dzahabi rahimahullah berkata, “Dahulu generasi salaf menuntut ilmu karena Allah, maka mereka pun menjadi terhormat dan menjadi para imam panutan. Kemudian datanglah suatu kaum yang menuntut ilmu yang pada mulanya bukan karena Allah dan berhasil memperolehnya. Namun kembali kepada jalan yang lurus dan mengintrospeksi dirinya sendiri dan akhirnya ilmu itu sendiri yang mendorong dirinya menuju keikhlasan di tengah jalan. Sebagaimana dinyatakan oleh Mujahid dan lainnya, “Dahulu kami menuntut ilmu tanpa niat yang tinggi. Namun, kemudian Allah menganugerahi niat tersebut sesudah itu.” Sebagian ulama menyatakan, “Kami hendak menuntut ilmu untuk selain Allah. Namun ternyata ia hanya bisa dilakukan karena Allah”. (Panduan Akhlak Salaf , hlm. 7)

Para salaf yang lain juga benar-benar bersemangat memperhatikan permasalahan niat ini. Sufyan Ats Tsauri berkata, “Saya tidak pernah mengobati sesuatu melebihi terapiku terhadap niat.”

Tidak hanya hati saja yang mereka jaga kesungguhan dan ketulusannya ketika menuntut ilmu, tubuh mereka pun ditempa sedemikian rupa sehingga menjadi raga yang kuat menghadapi rintangan dalam perjalanan menuntut ilmunya. Perhatikanlah kisah Hajjaj bin Sya’ir ini, “Ibuku pernah menyiapkan untukku seratus roti kering dan aku menaruhnya di dalam tas. Beliau mengutusku ke Syubbanih (salah seorang ahli hadits) di Madain. Aku tinggal di sana selama seratus hari. Setiap hari aku membawa seratus roti dan mencelupkannya ke sungai Dajlah kemudian aku memakannya. Setelah roti habis aku kembali ke ibuku.” (102 Kiat Agar Semangat Belajar Agama Membara, hlm. 274).

Penutup

Mungkin saja kita tidak bisa setara dengan para salafush sholih dalam semangat mereka menuntut ilmu. Akan tetapi, segala upaya harus kita kerahkan agar semangat menuntut ilmu itu selalu terhujam kuat di dalam hati kita.

Allah berfirman,

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (Qs. At Taghaabun : 16)

Maka tidak ada lagi alasan “Saya cuma ibu rumah tangga” atau “Saya sudah jadi seorang istri” atau “Saya tinggal di tempat yang jauh dari majelis ilmu” untuk menghindari kewajiban menuntut ilmu. Dengan berkembangnya teknologi di masa sekarang ini –misalnya internet, radio, rekaman kajian (kaset, CD, VCD, DVD), buku-buku Islam, dan majalah Islami- cukup memudahkan kita para wanita untuk tetap dapat menuntut ilmu tanpa harus datang dan duduk langsung dalam sebuah majelis ilmu jika keadaan memang tidak memungkinkan.

Semoga dengan sedikit pemaparan di atas, semangat para wanita untuk menuntut ilmu dapat tumbuh subur, sehingga dengan ijin Allah Ta’ala kita dapat songsong kembali kejayaan umat Islam di atas manhaj salafush sholih.

Wallahu Ta’ala A’lam.

Penulis: Ummu Nabiilah Siwi Nur Danayanti
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar

Referensi:
Abdul Azis bin Nashir Al Jalil, Panduan Akhlaq Salaf (Terjemahan dari Aina Nahnu min Akhlaqis Salaf), At Tibyan, Solo.
Abu Anisah bin Luqman al Atsari, Tugas Mulia Seorang Ibu, Majalah Al Furqon edisi 12 tahun VIII.
Abu Maryam Fathi Sayyid, Para Ulama Wanita Pengukir Sejarah (Terjemahan dari Shafahat Musriqah min Sirah al ‘Alimat al Muslimat), Samodra Ilmu, Yogyakarta.
Abul Qa’qa’ Muhammad bin Shalih Alu ‘Abdillah, 102 Kiat Agar Semangat Belajar Agama Membara (Terjemahan dari Kaifa Tatahammas fi Thalabil ‘Ilmi Syar’i Aktsar min 100 Thariqatan lit Tahammus li Thalabil ‘Ilmi Syar’i), Elba, Surabaya.
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As Sidawi, 10 Faidah Seputar Dunia Wanita, Majalah Al Furqon edisi 11 tahun VII.
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Wanita-wanita Pengukir Sejarah Islamiah, Majalah Al Furqon edisi 12 tahun VI.
Sufyan bin Fuad Baswedan, Ibunda Para Ulama, Wafa Press, Klaten.

***

(muslimah.or.id)

Judul Blog Anda is proudly powered by Pusat Cara | Modif by Junay Sugiyanto™